PENGARUH KEMATANGAN BERAGAMA TERHADAP KUALITAS MANUSIA-UNGGUL-PARTISIPATORIS
PENDAHULUAN
Keterpurukkan Indonesia dalam lumpur kemiskinan dan keterbelakangan –dari segala sisi-- saat ini secara langsung telah menunjukkan rendahnya mutu kualitas hidup sebagai sebuah bangsa yang besar. Ditambah lagi dengan informasi dari dunia pendidikan yang menunjukkan rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi karena ketidak-berdayaannya dalam menghadapi masalah (Munandar, 1997 ; Diana, 1998). Namun pada sisi lain, terdapat beberapa figur manusia Indonesia yang memiliki kualitas tinggi yang telah mampu merubah Indonesia menjadi ‘baru’, yaitu M.Amien Rais, B.J Habibie, KH Abdurrahman W, Akbar Tanjung, dan atau tokoh-tokoh lainnya.
Perlu disadari, ada keterkaitan yang sangat erat antara mutu kualitas hidup masyarakat (sebagai phenomenal field) dengan kualitas manusianya (sebagai aktor pembangun). Dimana kualitas manusia tersebut yang sangat menentukan terbentuknya masyarakat dengan mutu kualitas hidup yang tinggi (Albanik, tahun tidak diketahui). Oleh karena itu, untuk membangun kembali bangsa Indonesia dengan tingginya mutu kualitas hidup masyarakatnya, maka perlu kiranya untuk meningkatkan kualitas manusianya. Kualitas manusianya yang dimaksudkan dalam tulisan ini berdasarkan pada suatu kriteria tertentu yang mengacu pada keunggulan SDM ---yang diharapkan mampu menghadapi tantangan global, khususnya tantangan menghadapi abad 21 atau millenium ketiga yang terus-menerus berubah dengan cepat, termasuk juga arus informasi dan teknologi--- yaitu kriteria Manusia-Unggul-Partisipatoris merupakan salah satu konsep yang dibangun untuk menggambarkan SDM unggul yang diinginkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mutu kualitas seseorang muncul dan terlihat dari suatu perilaku keseharian ditentukan atau di dominasi oleh adanya intensi, sikap, dan keyakinan seseorang akan perbuatan yang dilakukannya (Fishbein dan Ajzen, 1975; dalam Andrianto, 1999). Dimana salah satu sumber utama dari sikap, keyakinan, dan nilai-nilai dalam diri individu adalah keberagamaan individu.
Ajaran agama mengandung nilai moral-nilai moral dan perilaku yang melahirkan konsekuensi pada pemeluknya untuk mengamalkan nilai moral-nilai moral tersebut ke dalam perilaku keseharian. Namun tidak semua individu dapat melakukannya. Hanya individu yang memiliki kematangan dalam beragamalah yang berpeluang untuk mewujudkannya. Salah satu ciri pribadi yang matang dalam dalam kehidupan beragama ditandai dengan dimilikinya konsistensi antara nilai moral-nilai moral agama yang tertanam dalam diri individu dengan perilaku keseharian yang dimunculkan. Dalam bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu matang dalam kehidupan beragamanya, maka individu tersebut akan konsisten dengan ajaran agamanya. Konsistensi ini akan membawa individu untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Lebih jauh, melalui kematangan dalam kehidupan beragama individu akan mampu untuk mengintegrasikan atau menyatukan ajaran agama dalam seluruh aspek kehidupan. Secara khusus, keberagamaan yang matang akan lebih mendorong umat untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agama dalam setiap sisi kehidupan. Begitu pula dengan masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat yang memiliki landasan keberagamaan yang kental.
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoretis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah benarkah terdapat peranan kematangan beragama terhadap tingginya kualitas manusia berdasarkan kriteria Manusia-Unggul-Partisipatoris?
Kematangan Beragama
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoretis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Allport (1953), selain memberikan definisi, juga menyertakan ciri-ciri individu yang memiliki kematangan beragama dalam pembahasannya, yaitu :
a. Kemampuan melakukan diferensiasi. Kemampuan melakukan diferensiasi dengan baik dimaksudkan sebagai individu dalam bersikap dan berperilaku terhadap agama secara objektif, kritis, reflektif, berpikir terbuka atau tidak dogmatis, observatif, dan tidak fanatik secara terbuka. Individu sering mengalami konflik antara rasio dengan dogma agama. Individu yang memiliki kematangan beragama akan mampu mengharmoniskan keduanya melalui kemampuannya dalam berpikir objektif, melakukan observasi dan berani melakukan kritik terhadap apa yang dirasakannya. Individu yang memiliki kehidupan beragama yang terdiferensiasi, akan mampu menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragamanya, sehingga pandangan terhadap agama menjadi lebih kompleks dan realistis (Allport, 1953), serta tidak terjebak pada pemikiran yang dogmatis.
b. Berkarakter dinamis. Dalam diri individu yang berkarakter dinamis, agama telah mampu mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya. Aktivitas keagamaan semuanya dilaksanakan demi kepentingan agama itu sendiri (Subandi, 1995). Karakter yang dinamis ini di dalamnya meliputi motivasi intrinsik, otonom, dan independen dalam kehidupan beragama.
c. Konsistensi moral. Kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu pada konsekuensi moral yang dimiliki dengan ditandai oleh keselarasan antara tingkah laku dengan nilai moral. Agama dan moralitas memiliki keterkaitan yang kompleks. Salah satunya adalah adanya keselarasan dan kesamaan antara tingkah laku dengan nilai-nilai agama. Kepercayaan tentang agama yang intens akan mampu mengubah atau mentransformasikan tingkah laku (Allport, 1953).
d. Komprehensif. Keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan sebagai keberagamaan yang luas, universal, dan toleran dalam arti mampu menerima perbedaan (Allport, 1953). Dengan memandang agama sebagai hal yang universal, akan mengarahkan individu untuk mencerna bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirinya senantiasa dikembalikan pada Tuhan (Subandi, 1995).
e. Integral. Keberagamaan yang matang akan mampu mengintegrasikan atau menyatukan agama dengan segenap aspek-aspek lain dalam kehidupan, termasuk di dalamnya dengan ilmu pengetahuan (Subandi, 1995). Integrasi antara agama dengan ilmu pengetahuan yang sangat penting, mengingat keduanya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perasaan yang integral ini menjadikan individu yang dewasa akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan kejahatan.
f. Heuristik. Ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatannya dalam beragama (Subandi, 1995). Kepercayaan heuristik sendiri dapat dipandang sebagai suatu kepercayaan yang diyakini untuk sementara sampai dapat di konfirmasikan untuk membantu menemukan kepercayaan yang lebih valid. Orang yang beragama secara dewasa akan menyadari bahwa dirinya tidak pernah sempurna, sehingga selalu berusaha meningkatkan keimanannya.
Manusia-Unggul-Partisipatoris
Manusia-Unggul-Partisipatoris adalah manusia yang selalu menggali dan mengembangkan potensi diri dan ikut serta secara aktif dalam pengembangan kualitas suatu masyarakat. Ciri-ciri Manusia-Unggul-Partisipatoris, antara lain adalah :
1. Dedikasi dan disiplin
Seorang manusia unggul haruslah mempunyai rasa pengabdian terhadap tugas dan pekerjaannya. Dia harus ---di dalam kaitan ini--- sadar arah. Memiliki visi jauh kedepan, yaitu visi normatif atau idealis dan visi strategik. Visi normatif adalah visi ideal yang belum kongkrit dan berfungsi sebagai prinsip-prinsip pengarah (gueding principle). Visi strategik yaitu visi yang dijabarkan dalam target-target dan terikat dalam suatu kurun waktu tertentu yang perlu diwujudkan.
Visi yang jauh ke depan bukanlah proyeksi kekhawatiran dan kelemahan karakter dari orang yang memberi masukan, tetapi lebih pada refleksi yang akurat tentang dirinya sendiri. Ia dapat memutuskan pada dirinya bagaimana semua peristiwa atau stimulus akan mempengaruhi dirinya. Ia merupakan orang yang proaktif yang digerakkan oleh nilai-nilai yang sudah di pikirkan secara cermat, di seleksi dan di hayati. Respon mereka terhadap stimulus yang didapat selalu didasarkan pada nilai tertentu (Covey,1997). Selanjutnya seorang yang berdedikasi adalah seseorang yang berdisiplin, karena ia terfokus pada apa yang ingin ia wujudkan.
2. Jujur
Kejujuran yang dimiliki manusia unggul adalah kejujuran terhadap diri sendiri dan orang lain. Kejujuran terhadap diri sendiri adalah jujur terhadap kemampuan diri sendiri. Mengakui apa yang bisa diperbuat dan yang tidak bisa di perbuat, suatu ciri sikap profesionalisme. Sikap profesionalisme ini juga ditandai oleh seseorang manusia unggul yang mengetahui kapan ia berdiri sendiri dan kapan ia harus bekerja sama.
Kejujuran terhadap diri sendiri ini dapat terjadi bila didukung dengan adanya kesadaran diri. Sebuah kemampuan untuk memperhatikan secara terus-menerus keadaan batinnya sendiri, dimana pikiran mengamati dan menggali pengalaman dirinya.
Kejujuran terhadap orang lain dapat dilihat dari kemampuan bekerja sama, karena pada akhirnya suatu kerjasama akan didasarkan kepada saling percaya atau trust seperti yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama (Tilaar, 1998), karena tanpa kejujuran manusia unggul akan dapat survive.
3. Inovatif
Seorang manusia unggul bukanlah seorang manusia rutin yang puas dengan hasil yang telah dicapai dan telah puas dengan status quo. Seorang manusia unggul adalah yang selalu gelisah dan selalu mencari yang baru. Mencari yang baru tidak perlu menciptakan sesuatu yang baru tetapi juga yang dapat menemukan fungsi yang baru dari suatu penemuan. Hal itu hanya bisa dicapai dengan creative thinking. Hanya dengan berpikir kreatif kita dapat terlepas dari cengkeraman birokrasi-feodalis kaku yang hanya bergerak apabila ada petunjuk dari atasan. Budaya memohon petunjuk bertentangan dengan manusia unggul.
4. Tekun
Seorang manuisa unggul adalah seorang yang dapat memfokuskan perhatian pada tugas dan pekerjaan yang telah diserahkan kepadanya, atau suatu usaha yang sedang dikerjakannya. Ia menghargai nilai-nilai sumber yang ada yang tidak akan menyebabkan pemborosan, karena pemborosan bukanlah sesuatu yang sesuai dengan kehidupan yang mementingkan mutu.
5. Ulet
Manusia adalah manusia yang tidak mudah putus asa. Ia akan terus-menerus mencari dan mencari. Dibantu dengan sikapnya yang tekun, maka keuletan akan membawa dia kepada suatu dedikasi terhadap pekerjaannya mencari yang lebih baik dan bermutu.
6. Kemauan untuk belajar
Menurut UNESCO, belajar pada abad 21 haruslah didasarkan pada empat pilar yaitu : 1) learning to think, 2) learning to do, 3) learning to be, dan 4) learning to live together. Keempat pilar tersebut merupakan soko guru dari manusia abad 21 menghadapi arus informasi dan kehidupan yang terus-menerus berubah.
Di dalam belajar berpikir ditunjukkan bahwa arus informasi yang begitu cepat berubah dan makin lama makin banyak tidak mungkin lagi dikuasai oleh manusia karena kemampuan otaknya yang terbatas. Oleh karena itu, proses belajar yang terus-menerus terjadi seumur hidup ialah belajar bagaimana berpikir (learning to think).
Selain itu, bukan hanya sekedar berpikir, akan tetapi juga menuntut manusia yang berbuat (learning to do). Yaitu, manusia yang ingin memperbaiki kualitas kehidupannya dan menjadi manusia produktif. Tanpa berbuat sesuatu, pemikiran atau konsep tidak mempunyai arti.
Selanjutnya, adanya bahaya yang mengancam planet bumi sebagai satu-satunya tempat kehidupan sebelum di temukannya kemungkinan hidup di planet-planet lainnya. Hal ini berarti bahwa setiap manusia di muka bumi dituntut secara sadar belajar bagaimana untuk tetap hidup (learning to be).
Tuntutan kemauan untuk belajar yang terakhir adalah mempererat hidup bersama antar individu dalam konteks lintas bangsa (learning to live together). Hal ini terutama sebagai upaya untuk menghadapi dan mencegah terjadinya pertentangan budaya.
Peranan kematangan keberagamaan terhadap kualitas Manusia-Unggul-Partisipatoris
Ancok (1998) dalam tulisannya mengenai manusia menghadapi milenium III mengungkapkan bahwa orang-orang yang survive adalah mereka yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap hal-hal transenden atau spiritual. Karena mereka memiliki prinsip-prinsip yang mereka yakini kebenarannya dalam menjalankan kehidupan. Keyakinan yang kuat dan diiringi dengan tindakan nyata adalah merupakan wujud nyata kematangan beragama individu. Hal ini senada dengan konsep Covey (1997) bahwa sebenarnya perbedaan persepsi yang mempengaruhi perilaku manusia tidak akan pernah terjadi selama kita berpegang pada prinsip-prinsip universal [dalam hal ini ajaran agama] yang dimiliki oleh manusia.
Menurut Setiadi dkk (1986), ada tujuh ciri-ciri dan dimensi kualitas pribadi manusia Indonesia yang dominan yaitu : Ketaatan pada prinsip moral dan norma agama, Pengembangan diri dan orientasi masa depan, Sikap sosial dalam hubungan antar manusia, Persatuan bangsa, Efisiensi waktu, tenaga dan biaya, Kemandirian dan Pengendalian diri. Selanjutnya mereka juga mengungkapkan,
“Dengan menggunakan sekor ketujuh dimensi analisa faktor dari data Indonesia, telah dilakukan perbandingan antara apa yang ideal dianggap penting dengan apa yang dipersepsikan ada dalam kenyataannya : baik untuk responden secara keseluruhan, responden perkota, maupun untuk responden dosen, mahasiswa dan masyarakat. Perbandingan tersebut antara peringkat ideal dan kenyataan dari analisa faktor, seluruh responden menunjukkan bahwa ketaatan pada prinsip moral dan norma agama sama-sama menduduki peringkat pertama. Hasil yang serupa dijumpai pada kelompok dosen mahasiswa, masyarakat, dan 14 dari 15 kota”.
Dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan dengan jelas betapa besar peranan kematangan beragama ---dalam hal ini adalah ketaatan pada prinsip norma agama--- dalam menunjukkan kualitas manusia, khususnya manusia Indonesia.
Untuk lebih jelas betapa besarnya peranan kematangan beragama terhadap kualitas manusia berdasarkan kriteria, dibawah ini akan dijabarkan secara terperinci.
Peranan kematangan beragama terhadap disiplin dan dedikasi
Sebagaimana hasil penelitian Ahmad (1995) yang menunjukkan bahwa semakin tingginya tingkat religiusitas seseorang maka semakin tinggi tingkat disiplin yang dimilikinya, begitu pula dengan dedikasinya. Karena seseorang yang berdedikasi terlihat dari kedisplinannya. Dinamika ini terbukti bila seseorang memiliki kematangan beragama. Karena individu yang memiliki kematangan beragama, ia memiliki karakter yang dinamis –yang mencakup motivasi intrinsik, otonom, dan mandiri dalam berkehidupan agama--- dan konsistensi moral yang tinggi . Dimana kedua ciri tersebut merupakan salah satu faktor tumbuhnya sikap disiplin dan dedikasi dalam diri individu. Sebagai ilustrasi :
Dalam setiap agama ada rutinitas spiritual yang menuntut disiplin tinggi dan ajaran untuk berkorban dengan sepenuh hati [dedikasi]. Untuk mencapai semua hal itu, hanyalah individu yang memiliki kematangan beragama yang tinggi saja yang mampu mencapainya. Maka jelaslah sudah bahwa kematangan beragama mempunyai peran penting dalam menumbuhkan sikap disiplin dan dedikasi.
Peranan kematangan beragama terhadap Kejujuran
Salah satu substansi ajaran agama adalah kejujuran. Maka seseorang yang memiliki kematangan beragama tentu akan menjunjung tinggi kejujuran terhadap dirinya sendiri, baik kemampuan maupun kekurangannya. Hal ini sesuai dengan salah satu ciri kematangan beragama, yaitu konsistensi moral. Dimana individu yang memiliki kematangan beragama ia cenderung akan konsisten dengan ajaran agamanya, yaitu bersikap jujur.
Peranan kematangan beragama terhadap inovatif
Hasil penelitian pengalaman beragama (Subandi, 1997; dalam Diana 1998) menunjukkan bahwa salah satu hasil pengalaman beragama adalah munculnya berbagai gagasan yang orisinal atau kreatif, sehingga memungkinkan berkembanganya pemikiran-pemikiran kreatif. Pemikiran-pemikiran kreatif (creative thinking) inilah yang menghasilkan sikap inovatif dalam diri individu. Dinamika psikologis tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Diana (1998) yang menunjukkan bahwa semakin tingginya religiusitas seseorang maka semakin tinggi pula tingkat kreatifitasnya. Hal ini bisa dipahami karena seseorang yang memiliki kematangan beragama akan memahami betul bahwa ia harus bersyukur atas karunia yang diberikan oleh Tuhannya berupa akal pikiran. Dan wujud kesyukuran itu adalah dengan menggunakan dalam memikirkan segala hal yang ada di dalam alam semesta ini. Kecuali hal-hal gaib yang tidak kelihatan, karena tidak mampu dicapai oleh otak manusia yang hanya mampu menangkap hal yang realistis dan obyektif. Maka hal-hal yang ada diluar jangkauan akalnya ia serahkan pada suatu otoritas yang ia yakini kebenarannya, yaitu realitas transendental. Hingga ia tidak berfikir pada hal-hal yang ia memang tidak mampu, dan menfokuskan pada hal-hal yang ia mampu serta selalu berfikir apa yang terbaik untuk kehidupan manusia di dunia. Bisa dipastikan ia akan selalu mencari inovasi-inovasi demi perintah dari Tuhannya dan kehidupan ummat manusia
Qardhawi (1999) menyatakan bahwa hendaknya kaum cendekiawan mencurahkan segenap potensi mereka untuk memikirkan penciptaan langit dan bumi beserta isinya dengan seluruh keteraturan dan ketelitian penciptaannya.
Peranan kematangan beragama terhadap ketekunan dan ulet
Ketekunan dan uletnya seseorang terlihat dari usahanya yang sungguh-sungguh dan suka bekerja keras serta tidak putus asa. Hal ini terkait dengan ajaran agama yang selalu menyuruh setiap umatnya untuk selalu berusaha dan bekerja keras serta jangan mudah menyerah atau putus asa, dimana dalam memperjuangkan sesuatu setiap individu perlu berusaha secara optimal Maka sewajarnyalah bila seseorang memiliki kematangan dalam beragama maka ia mempunyai ketekunan dan keuletan yang tinggi. Hal ini juga didukung oleh sebuah hasil penelitian tahun 1996 yang menunjukkan hubungan yang positif antara orientasi kehidupan keagamaan dengan ketahanan mental atau tidak mudah menyerah. Di sisi lain orang yang matang dalam beragama akan menyadari bahwa dirinya tidak pernah sempurna, sehingga selalu berusaha meningkatkan [kualitas] diri.
Peranan kematangan beragama terhadap kemauan untuk belajar
Salah satu ciri kematangan beragama seseorang adalah karakter yang dinamis yang didalamnya meliputi motivasi intrinsik. Maka secara langsung dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki kematangan beragama maka ia memiliki kemauan dari dalam diri yang kuat termasuk kemauan untuk selalu belajar. Hal ini didukung oleh penelitian Uyun (1998) yang menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas (dimensi ideologis, ritualistik, eksperiensial dan konsekuensial) dengan motivasi berprestasi.
Begitu pula dengan ciri kemampuan melakukan diferensiasi yang dimiliki individu yang mempunyai kematangan beragama. Kemampuan tersebut menuntut individu untuk selalu bersikap kritis, obyektif, dan reflektif, sehingga terkembang kemauannya untuk selalu belajar berpikir (learning to think) dan bertindak (learning to do). Serta ciri konsistensi moral yang menjadikan individu selalu mencoba untuk bertindak (learning to do) (Andrianto, 1999). Konsistensi moral individu selalu menuntutnya untuk menyelaraskan antara hal-hal yang dipikirkannya dengan tindakan nyata atau usaha untuk mencoba , sehingga adanya kemauan untuk memperbaiki kualitas hidupnya atau lebih produktif.
Sedangkan kemauan untuk belajar dalam konteks hidup bersama atau berinteraksi sosial (learning to live together), kematangan beragama juga memberi peranan yang penting. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Andrianto (1999) yang menunjukkan semakin tingginya kematangan beragama seseorang, maka semakin tinggi pula intensi prososialnya. Serta hasil penelitian Suhartanto (1993) yang membuktikan bahwa ada hubungan positif antara orientasi kehidupan keagamaan dengan intensi prososial. Dimana perilaku prososial itu sendiri mencakup tindakan menolong, bekerja sama, berbagi perasaan, bertindak jujur dan dermawan terhadap orang lain.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan diatas, maka bisa disimpulkan bahwa kematangan beragama seseorang dapat menjadikannya manusia unggul sesuai dengan kriteria yang diajukan oleh Thilaar (1998) yaitu Manusia-Unggul-Partisipatoris.
Oleh karena itu, untuk menyiapkan manusia yang unggul dalam menghadapi millenium ketiga yang penuh dengan tantangan dan tingkat turbulensi yang tinggi, maka saran-saran yang perlu dilakukan adalah :
¯ Penanaman pendidikan agama yang tidak hanya mengutamakan pengetahuan tetapi sampai pada tingkat kematangan yang ditunjukkan oleh perilaku dan tingkat kesadaran menunaikan kewajiban menjalankan ajaran agama.
¯ Penciptaan lingkungan yang kondusif dan keterlibatan yang intensif dari para pendidik, orangtua maupun masyarakat sekitar dalam membentuk kematangan beragama sejak usia dini.
¯ Menjadikan agama sebagai landasan berpikir dan berperilaku serta kebijakan-kebijakan yang diambil baik dalam skala mikro seperti keluarga maupun skala makro seperti pemerintah.
¯ Mengaktifkan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyentuh segala kalangan baik dari segi usia, jenis kelamin, budaya maupun status sosial.
¯ Memanfaatkan media komunikasi yang ada dalam menanamkan kesadaran beragama, hingga pada akhirnya dapat meningkatkan kematangan beragama.
¯ Mengupayakan terbentuknya sinergi antara ahli-ahli agama dengan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dalam menyelesaikan setiap permasalahan masyarakat.
¯ Mencegah ataupun meminimalisir segala bentuk usaha yang menjadikan agama sebagai sebab terjadinya kejadian yang tidak diinginkan, seperti perilaku perusakan dan pelanggaran hak asasi manusia.
¯ Menjadikan individu-individu yang memiliki kematangan beragama dengan kualitas unggul yang dimilikinya sebagai model atau figur bagi generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D, 1998. Membangun Kompetensi Manusia dalam Millenium Ketiga. Psikologika No 6 tahun III 1998. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII.
Andrianto,1999. Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Intensi Prososial : Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UII. Skripsi(tidak diterbitkan).Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII.
Covey, 1997. Tujuh Kebisaan Manusia yang Sangat Efektif. Jakarta : Gramedia.
Diana, 1998. Hubungan Antara Relegiusitas dan Kreativitas Siswa SMU Negeri III Sukabumi. Ringkasan Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Najib & Sukardiono, 1998. Amien Rais Sang Demokrat : Dilengkapi catatan harian sampai jatuhnya Soeharto. Jakarta: Gema Insani Press.
Qardhawi, Y, 1999. Al-Qur’an : Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Gema Insani.
Setiadi, dkk, 1986. Kualitas Pribadi Manusia Indonesia Penunjang Pembangunan : Suatu Studi Mengenai Kualitas Ideal dan Kenyataannya di 15 Kota di Indonesia. Laporan Penelitian(tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi UI.
Suhartanto, 1993. Hubungan Orientasi Kehidupan Keagamaan, Locus of Control, dan Harga Diri dengan Intensi Prososial. Ringkasan Skripsi.Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM
Tilaar, H.A.R,.1998. Sistem Pendidikan Indonesia. Bandung : Rosdakarya.
Uyun,.Q, 1998. Relegiusitas dan Motif Berprestasi Mahasiswa. Laporan Penelitian. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII.
terus referensinya ri buku pa ja?
oya punya buku individual and his religion dari G.W Allport ga?